September 09, 2007

Welcome...

UNITE
IS ABOUT TO FEEL THE EQUATIONS
NOT JUST TO SEE THE DIFFERENCES





Why December’26…?
Desember'26 is just a little piece of mind when I saw my brothe
rs in Aceh suffering from illness caused by Tsunami on December, 26, 2004 ago. I could feel the world sincerely cried for them that day. I didn’t know, suddenly I feel that my country, Indonesia is a part of the world, in the same time when in the last vew days I felt that it will be forcely separated by independency request of Aceh and Papua like medias said everyday ___more...


Wajah-wajah Berkarakter

Senang sekali berminggu-minggu bekerjasama dengan teman-teman mahasiswa asal Papua ini. Banyak hal yang saya dapat dari mereka. Dari cerita-cerita lucu sampai yang seru seperti keadaan Papua yang sebenarnya, membuat saya jadi tahu lebih banyak tentang mereka dan Papua. Pada umumnya mereka sangat ramah dan terbuka ___more...


Dancing Scene
Ini scene
yang luar biasa dengan orang-orang luar biasa pula. Saya menyebutnya scene pembauran. Di sini semua karakter dari berbagai suku dan warna kulit, apapun, berbaur dengan asyik dak bersaudara. Anak-anak asli Papua yang jago nge-dance ada di sini. Saya bilang 'jago' ya memang mereka jago. Mereka punya style, mereka punya gaya.. ___more...


Virus Jahanam
J
ika Anda pernah berpuasa, ketika tiba saat berbuka ada orang yang merebut es campur siap santap di depan Anda, kira-kira begitulah rasanya ketika lebih dari sebulan kami menghabiskan waktu untuk mengedit DECEMBER’26, lalu virus sialan itu datang menghancurkan semua jerih payah kami yang sudah 95% siap tayang ___more...


Super Crew

Crew Desember’26 adalah crew yang sangat luar biasa.Saya sedang tidak bernafsu untuk memuji siapapun, tapi saat ini saya memang harus mengakui mereka sebagai partner yang baikdan menyenangkan... ___more...


Dibalik Cerita

26 Desember 2005. Bangun tidur lalu nonton TV, kaget karena semua channel dipenuhi berita tentang terjadinya tsunami. ”Ada apa..? Tsunami..! Di mana..?” tapi pertanyaan-pertanyaan akibat melek belum sempurna itu gak berlangsung lama. Saya segera paham telah terjadi bencana dahsyat di Aceh, gempa dan tsunami. Tapi ___more...


Cerita Dibalik

Mustahil mengeksekusi ide awal yang ada setting Papua. Titik. Yup! Emang dananya dari Hongkong...(kok, kenapa nggak dari Jakarta aja ya? Hehe..). Maka mengulik cerita harus dilakukan. Jadilah Jogja dan dinamika para mahasiswanya menjadi setting utama, dengan focus point pada mahasiswa asal Papua di sana. Anak muda dengan berbagai ciri jiwa mudanya menjadi pilihan kami untuk merangakai plot cerita lebih dinamis namun tetap... ___more...


Scene VCD Porno Yang Mendebarkan

Ada kejadian seru saat kami shoot adegan counter VCD.
Kami hampir saja digebukin preman sekampung di sana, hehe… Kejadiannya berawal ketika Andy dan Benny (Art Director) meletakkan props beberapa cover VCD porno di counter yang telah kami sewa buat shooting. Ngeliat itu, si pemilik counter langsung... ___more...


Media Release
Setelah rampung dengan film 'Lubang Tak Berujung (LTB) yang disponsori oleh USAID-LGSP, dan berhasil membawa film itu menjadi satu-satunya official selection mewakili Indonesia di Warsawa Harm Reduction International Film Festival kini sutradara ___more...


Interview With The Director
Alhamdulillah, satu lagi karya kami bertambah. Saya tidak sendirian, di sekitar saya ada sahabat, saudara dan partner-partner yang mensupport saya habis-habisan. Karena itu ide ini akhirnya bisa terwujud. Buat saya, film ini adalah satu proses yang luar biasa. Banyak pelajaran saat berproses di film ini yang bisa ___more...


Desember'26 Trailer




Why December'26...?

Desember'26 is just a little piece of mind when I saw my brothers in Aceh suffering from illness caused by Tsunami on December, 26, 2004 ago. I could feel the world sincerely cried for them that day. I didn’t know, suddenly I feel that my country, Indonesia is a part of the world, in the same time when in the last vew days I felt that it will be forcely separated by independency request of Aceh and Papua like medias said everyday.

A big question in my head was; “What about my brothers in Papua right now? Are they crying for their other Indonesian brothers, Aceh too?” Well, maybe it’s a weird question. But I really couldn’t wait for the answer. So, directly I send that question message to a friend in Papua. And the answer is “Yes, they sincerely cried..!”.

So, I feel that I have plently of backbone to wrote it into a film screenplay. And here we are, Desember’26 was a big effort to shoot it in very limited budget. I can’t say it ‘low budget’ for something that actually ‘no budget’.
But Alhamdulillah, we did it even in a simple way of production thoughts.

Anyway, I just need to share something in my head, that without any attributes we weared such as nations, flags, religions, races, football clubs and so on, actually we are already the one thing, one nation, one world by heart feeling of humanism. Because we can’t leave alone forever. Never..!

I still can hear an Indonesian Nation Song “Dari Sabang Sampai Merauke” (From Sabang part of Aceh to Merauke-part of Papua) right here, right now…!

Sigit Ariansyah | Director

Alhamdulillah, satu lagi karya kami bertambah. Saya tidak sendirian, di sekitar saya ada sahabat, saudara dan partner-partner yang mensupport saya habis-habisan. Karena itu ide ini akhirnya bisa terwujud. Buat saya, film ini adalah satu proses yang luar biasa. Banyak pelajaran saat berproses di film ini yang bisa saya ambil. Apapun hasilnya menurut masing-masing Anda, inilah jerih usaha kami. Semoga ada manfaatnya untuk Indonesia, sekecil apapun.

Desember’26 lahir dari sebuah ironi pemikiran sederhana yang tiba-tiba muncul di kepala saya ketika tsunami Aceh terjadi. Pertanyaan saya waktu itu; ”Apakah saudara-saudara di Papua sana juga merasa sedih sekarang ini?” Saat itu juga saya sms seorang teman yang ada di Papua, dan jawabnya ”ya”. Mereka bahkan banyak yang menangis di depan TV.

Merinding saya menyaksikan video kiriman yang diputar di sana. Percaya atau tidak, air mata saya benar-benar meleleh tanpa sadar. Hampir seharian saya duduk di depan TV mengikuti setiap perkembangan dengan isi kepala berkecamuk. Aceh, saya punya banyak sekali sahabat di sana. Bersamaan dengan itu, dari TV yang sama, lamat-lama saya mendengar lagu ”Dari Sabang Sampai Merauke” diputar.

Tiba-tiba saya berpikir, entah gimana awalnya; ”Apakah saudara-saudara di Papua sana sekarang juga nonton TV dan menangis sedih seperti saya ya...?”

Nggak sabar menunggu jawaban, saya SMS beberapa sahabat saya yang juga banyak di Papua tentang pertanyaan ganjil saya itu. Semua menjawab ”Ya”. Mereka memang menangis untuk Aceh.

Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa seperti menemukan sesuatu yang besar dari Tuhan. Bahwa seandainya setiap orang di dunia ini menanggalkan segala atribut pribadinya seperti bendera, ras, suku, agama, club sepakbola, dan sebagainya, maka sesungguhnya seluruh manusia sudah dipersatukan oleh rasa, tanpa perlu kampanye apalagi memaksa. Mungkin karena itulah kita dianjurkan untuk berbuat baik terhadap sesama.

Dari situ, jadilah ”DESEMBER’26” beberapa lembar screenplay yang kemudian kami produksi dengan perjuangan luar biasa untuk menjadikannya sebuah film. Harapan besar kami, semoga semua itu bermanfaat untuk dunia, untuk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke.

Terima Kasih saya yang sedalam-dalamnya kepada Allah SWT, sahabat, saudara dan semua pihak yang dengan ikhlas dan antusias turut berjibaku demi terwujudnya film ini. Semoga Desember’26 menjadi sebuah karya yang mampu memberi sesuatu kepada masyarakat, tidak hanya memohon perhatian mereka, apalagi memaksa.

Amiin...

The Media

As released by media

Setelah rampung dengan film ‘Lubang Tak Berujung’ (LTB) yang disponsori oleh USAID-LGSP, dan berhasil membawa film itu menjadi satu-satunya official selection mewakili Indonesia di Warsawa Harm Reduction International Film Festival, Polandia, kini sutradara Sigit Ariansyah sedang mempersiapkan film terbarunya ’December’26’, yang saat ini masih dalam tahap Pos Produksi.

Produser film ini Viko Amanda dan Aryo Wicaksono mengatakan, menurut rencana ”December’26” seharusnya sudah kami release awal Agustus kemarin. Tapi kami mendapat musibah, seluruh data film yang sudah 95% siap tayang itu tiba-tiba terkena virus dan tidak bisa kami selamatkan. Setelah melakukan berbagai upaya dan belum ada tanda-tanda berhasil, maka dengan berat hati kami putuskan untuk mengedit ulang dari awal. Memang cukup menyita waktu dan energi. Tapi hanya itu pilihan kami. Ini sekaligus menjawab pertanyaan teman-teman, baik pemain maupun crew yang terlibat, kami mohon kesabaran dan pengertiannya.

Menurut Sigit Ariansyah, sutradara yang juga bertindak sebagai penulis skenario, ”December’26” lahir dari sebuah ironi pemikiran sederhana yang tiba-tiba muncul ketika tsunami Aceh terjadi. Pertanyaan saya waktu itu: ”Apakah saudara-saudara di Papua sana juga merasa sedih sekarang ini?” Saat itu juga saya sms seorang teman yang ada di Papua, dan jawabnya ”ya”. Mereka bahkan banyak yang menangis di depan TV. ”December’26” lugas berbicara tentang rasa dan humanism yang diletakkan di atas Nasionalisme dan atribut apapun. Jika sedetik saja, kita melupakan tetek-bengek atribut atau badge individual kita seperti ras, suku, agama, partai politik ,warna bendera atau apapun, maka sejujurnya kita semua telah bersatu, disatukan oleh rasa dan kemanusiaan, ungkap Sigit Ariansyah lebih lanjut tentang filmnya.

Gambar kembali dipercayakan kepada Fauzy Ujel Bausad sebagai DOP dan Arif Rakhman sebagai asisten sutradara. Frame-frame ”December’26” diwarnai tidak kurang dari 80 orang pemain dari berbagai kalangan, termasuk 15 orang mahasiswa asal Papua dan beberapa kelompok dancer. Ulin Yahya dan Memet Jantan juga kembali terlibat dalam acting coach selama pra-produksi yang melibatkan puluhan karakter berbeda itu. Konsep camera-shake dengan warm-tone bersaturasi rendah menjadi pilihan untuk menciptakan image natural pada tiap frame di film ini.


Film yang diproduksi secara bersama-sama oleh X-CODE FILMS dan ZEROSITH PICTURES ini memang bertujuan untuk mempersatukan dan menggairahkan iklim perfilman di Indonesia, khususnya Jogja. Didukung penuh oleh Expresi Artist Management dan Own Cafe, juga crew yang terlibat pun mereka yang telah berpengalaman di berbagai produksi lokal maupun nasional. Besar harapan kami agar film ini bisa melewati tahap post produksi untuk yang kedua kalinya ini dengan lancar dan segera dapat kami launcing maksimal awal bulan depan, demikian jelas Yousep Eka selaku Unit Production Manager senada dengan Viko dan Aryo sebagai produser.

Hoby Perang

Saat casting, seperti biasa kami membagi formulir standard untuk diisi. Semua peserta casting termasuk teman-teman Papua pun mengisi formilir sebelum memasuki ruangan satu per satu.

Malam harinya, juga seperti biasa setiap formulir peserta kami cek dan kami baca satu persatu berikut mendiskusikan hasil shoot video castingnya. Tiba-tiba kami terkejut (lebih tepatnya ketakutan) karen ada satu formulir peserta c
asting dari Papua yang mengisi kolom ”Hobi:” dengan jawaban ”perang”.

Oh my God...! Karena
penasaran, besoknya saya dan Yousep Eka (UPM) ngobrol dengan dia. Ternyata dia anak seorang kepala suku di sana. Yang mengherankan, Ia bercerita dengan sangat ramah bahwa sejak kecil dirinya sudah terbiasa dengan suasana perang tradisional dan melihat ayahnya menyusun strategi perang di rumahnya.

Hmmm....


September 07, 2007

Dancing Scene

Ini scene yang luar biasa dengan orang-orang luar biasa pula. Saya menyebutnya scene pembauran. Di sini semua karakter dari berbagai suku dan warna kulit, apapun, berbaur dengan asyik dak bersaudara. Anak-anak asli Papua yang jago nge-dance ada di sini. Saya bilang 'jago' ya memang mereka jago. Mereka punya style, mereka punya gaya. Kita patut bangga karena mereka bagian dari kita. Seperti Dunia bangga dengan Maechel Jackson, Bob Marley, James Brown dan seterusnya. Selain kelompok Freestyle-Dancer asal Papua, ada juga kelompok Buterfly, dancer Jogja yang setiap orang kenal nama itu.
Berbagai latar belakang dance yang berbeda pun sama sekali tidak menjadi hambatan. Justru melahirkan hal baru yang unik. Seminggu penuh mereka berlatih setiap hari untuk mempersiapkan scene ini tanpa kenal lelah. Dan hasilnya, luar biasa. Memang sih, seminggu setelah shooting banyak talent cewek yang protes karena kulit mereka belang, sebab matahari memang sangat terik saat itu. Yah, sekali-sekali kan nggak papa, Sist, hehe... Thanks to OWN CAFE, karena kami bisa bikin adegan seperti yang kami bayangkan. Sebuah outdoor-cafe a la Eropa dengan suasana OK. Pihak OWN sangat bekerja sama dan memberi kami kebebasan yang patut diacungi jempol.

Sekali lagi, Lot of thanks to Own Cafe...


September 06, 2007

Virus Jahanam

Jika Anda pernah berpuasa, ketika tiba saat berbuka ada orang yang merebut es campur siap santap di depan Anda, kira-kira begitulah rasanya ketika lebih dari sebulan saya menghabiskan waktu untuk mengedit DECEMBER’26, lalu virus sialan itu datang menghancurkan semua jerih payah saya yang sudah 95% siap tayang. Film yang rencananya kami putar di HUT Kemerdekaan RI dan beberapa Festival Film itu pun gagal kita wujudkan.

Purna (Asst. Editor) sudah empot-empotan ke sana/ke mari tapi mentok, lalu mentok lagi. Viko dan Aryo (produser) pun sempat mencari dan memberikan beberapa nama teknisi handal untuk memperbaiki hardisk 250 GB itu. Walhasil, lebih dari 5 orang teknisi yang mencoba merecovery data-data itu, semuanya menyerah, semuanya pasrah. Saya pun gundah.... Ah... Sudahlah... Hahh...!

Saya sempat give up. Teman-teman crew dan pemain tak henti-hentinya menghujani saya dengan pertanyaan seputar kapan, kapan dan kapan. Ulin (Casting Director), Yousep (UPM) dan Maria (Talent Coordinator) juga menjadi target berondongan pertanyaan itu dari para pemain sebelum mereka bertiga akhirnya memberondong saya.

Lalu saya discuss sama Arief (1st Ad), Ujel (DOP) dan Viko, terakhir ketemu Aryo di Own. Akhirnya kami putuskan untuk mengedit ulang December’26 dengan segera.

Well, berat memang untuk mengembalikan mood yang sempat terjungkal 360 degrees ke arah medan grafitasi. Yah, tapi mana ada yang berkehendak ada musibah seperti itu. Kalaupun ada, dialah pembuat virus sialan itu. Maka dengan ini saya doakan supaya dia cepat bertobat dan diampuni semua dosa-dosanya. Amiin...

Perjuangan baru pun dimulai. Saya harus meyakinkan diri sendiri dengan mencari berbagai metode tersenyum yang paling manis untuk memulainya, hehe... Saya sadar, senyum yang tulus itu seringkali bersembunyi dibalik resiko-resiko besar yang kadang menjengkelkan.

So, tetap semuangaaaaaat...!!!


Dinky Dolly VS Selokan Mataram

Scene dengan jumlah talent terbanyak adalah dancing di Own Cafe. Minggu siang itu begitu bejubel, begitu terik dan melelahkan. Eee... malah si Dolly bikin masalah baru. Berkali-kali rodanya lepas (hehe, maklum...). Nah, saat Ujel membuat tracking shot yang keren itu di tepi selokan, roda itu lepas dan masuk ke dalam selokan. Air yang warnanya kayak kopi susu itu mengalir deras dan dalam. Pusing Dah..!

Tapi teman-teman dari Camera Departement memang bukan crew cengeng kemaren sore. Mereka bergerak lebih cepat dari bayangan mereka sendiri (berlebihan yak, hehe..). Kenyataannya nggak lama kemudian sudah ada tangga di sana, dan Adit menjadi pahlawan dengan mengubek-ngubek selokan. Tentu saja, semua menunggu dengan berdebar-debar. Ketika adit menemukan roda dolly yang sepertinya mustahil itu, semuanya bersorak seperti dipandu. Hahh... lega rasanya...

Thanks God... Thanks Adit... Thanks Camera Department…


Scene VCD Porno Yang Mendebarkan

Ada kejadian seru saat kami shoot adegan counter VCD. Kami hampir saja digebukin preman sekampung di sana, hehe… Kejadiannya berawal ketika Andy dan Benny (Art Director) meletakkan props beberapa cover VCD porno di counter yang telah kami sewa buat shooting. Ngeliat itu, si pemilik counter langsung marah besar. “Ini maksudnya apa? Kamu mau memfitnah saya ya…! Gak ada perjanjian VCD porno ada di sini…!”

Beberapa preman sekitar bertampang sangar pun berdatangan satu persatu. Kami sempat bengong juga. Ini kan film? Selidik punya selidik, rupanya mereka baru saja kena razia beberapa hari lalu. Setelah berdebat panjang lebar, akhirnya kami mengerti dan meminta maaf. Scene VCD porno tetap kami shoot tanpa harus memperlihatkan bentuk box cover VCD ada di counter itu.

Setelah shooting usai dan kami telah ”berdamai”, tiba-tiba masih terdengar ancaman terakhir, ”awas! jangan macam-macam lagi sama saya ya...! Nanti tak panggilin temenku baru tau rasa kalian...!”

Dhuengggg....!!?


The Super Crew

Crew Desember’26 adalah crew yang sangat luar biasa. Saya sedang tidak bernafsu untuk memuji siapapun, tapi saat ini saya memang harus mengakui mereka sebagai partner yang baik dan menyenangkan.

Dua minggu penuh pra-produksi plus produksi, mereka bekerja dengan ritme yang tetap stabil dengan jumlah talent yang segitu banyak. Dedikasi dan loyalitas tinggi itu bukan omong kosong. Semua terselesaikan dengan fasilitas yang sangat terbatas karena dedikasi dan loyalitas mereka yang tinggi.

Namun proses adalah proses. Apapun hasilnya, bagus ataupun buruk, suka atau tidak suka, selayaknya proses mendapat tempat tersendiri untuk dikenang, dipelajari dan disyukuri. Seburuk apapun, biasanya sebuah proses tetap asyik untuk dibicarakan kembali sambil tersenyum.

Kami paham betul, produksi kali ini memang sangat di luar kebiasaan, serba terbatas dan melelahkan.
Tapi semangat itu sangat mengagumkan. Terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk sahabat-sahabat profesionalku semua, di sini kita membuktikan bahwa kita memang ada untuk berbicara, bukan hanya ada untuk dibicarakan atau dikenang...

The Crew


Producers
Viko Amanda & Aryo Wicaksono

Co Producer
Dian Utami

Unit Manager
Yousep Eka Irawan

1st AD
Arif Rakhman

2nd AD
Fajar Nugros

Director of Photography
Fauzy Ujel Bausad

Art Director
Andy & Benny

Sound Director
Agus SP

Casting & Acting Coach
Ulin Yahya
Memet Jantan

Make Up Artist
T a n t i
N e h i

Wardrobe Sylist
Aprillia
Dhasy Swas

Talent Coordinator
Maria

Assistant Camera
Novianto Nopenk

Gaffer
Andy Ismail

Camera Department
Harwan Panudju
Kelvin Tatung
Aditya

Art Department
Alam
Otong
Dayat
Slamet
Niko

Boomer
Purna Widayat

Behind The Scenes
Heri Kristianto
Ina Maniez

Best Boys
Nanang
Wahyu

Editor
Sigit Ariansyah

Visual Effect
Aryo Wicaksono

Asst. Editor
Wahyu Kecil
Purna

Writer & Director
Sigit Ariansyah




Wajah-wajah berkarakter

Senang sekali berminggu-minggu bekerjasama dengan teman-teman mahasiswa asal Papua ini. Banyak hal yang saya dapat dari mereka. Dari cerita-cerita lucu sampai yang seru seperti keadaan Papua yang sebenarnya, membuat saya jadi tahu lebih banyak tentang mereka dan Papua. Pada umumnya mereka sangat ramah dan terbuka. Mereka orang-orang yang sangat potensial dalam berbagai bidang. Ada yang jago nge-dance, mahir bermusik dan bernyanyi, sepak bola, basket, bahkan ahli komputer dan jaringan.

Saat casting, kami membagi formulir standard untuk diisi. Setelah baca-baca, ada satu peserta casting dari Papua yang mengisi kolom ”Hobi:” dengan jawaban ”perang”. Oh my God...! Karena penasaran, saya dan Yousep (UPM) ngobrol dengan dia. Ternyata dia anak seorang kepala suku di sana. Ia bercerita, sejak kecil sudah terbiasa dengan suasana perang tradisional dan melihat ayahnya menyusun strategi perang di rumahnya. Hmmm....

it’s a great experience. Right?

Dalam hal akting, mereka sangat bekerja sama meski harus bercapek-capek siang-malam untuk memenuhi target scenes yang harus kami kejar demi menyusutkan budget produksi. Jika menemukan kesulitan, tanpa ragu mereka berusaha keras untuk bisa memenuhi apa yang kami inginkan. Begitulah, sampai kapanpun, ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa buat saya...



Banci Ngamen...

Salut juga buat mas Johan Ekspresi. Di sini dia tampil total menjadi Bencong ngamen di tengah terik. Dia sempat mengubah suasana tegang dan lelah menjadi gerr dengan penampilan yang diberikan April dan Dhasi (wardrobe) ngga' ketinggalan coretan-coretan Tanti (Make Up Arist) yang lebih mirip mural di wajahnya, hehe.. Tapi actingnya Ok kok..

Selain Johan
, talent lain dari Ekspresi yang juga ikut bermain antara lain: Satria Risky, Dhatu, David, Sarah Naistra dan banyak lagi yang nggak mungkin kami sebutkan namanya satu persatu.
Mereka semua pemain yang berpengalaman dan tampil sangat total di scene cafe.


Casts

Luziver Fransisco Dany
as Abner

Enos Atep Cagicolo
as Gerson

Susan Rosa Wetipo
as Kristin

Ribka Pagawak
as Mina

Yakobus Kristian Wetipo
as Ron

Mathyus Uty
as Markus

Paulus Duwith
as Edo

Paulus Ukago
as Paul

Kristin Windesi
as Maria

Emanuel Gobai
as Don

Ronald Yusuf Usyior
as David

Alexandro Valentino Samori
as Valent

Rudelx Kolari Wanimbo
as Nick

Enno Buterfly
as Sarah

Dancers
Allen
Israel imsula
Ronald jefry isir
Nenemia Leonard gerry iek
Rudi P
Jacky m
Tata
Yerry
Donny
Arsi
Eldroint S.A
Bucek

Extras
Djohan ekspresi
Datu Rembulan
Satria Risky
Sarah Naistra
David
W i t a
Dian utami
U n i
Firly ferdiansyah
Ina nur atriana
Cece
Bobby
Reta
Yousep eka irawan
Dhasi
Arif
April


Sinopsis


Semua terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, di sebuah sekretariat pentas seni mahasiswa Papua di Jogja. Berawal dari kegundahan abner si ketua asrama yang melihat beberapa temannya terlalu banyak menghabiskan waktu sia-sia, lupa dengan tujuan utama mereka.

Bersama GERZON dan KRISTIN (termasuk mahasiswa rajin), selain berdiskusi soal politik, masa depan Papua atau sekedar mata kuliah, ABNER juga sering mendiskusikan bagaimana supaya teman-teman mereka bisa bersatu dalam satu visi tanggung jawab belajar bersama-sama.

Diantara mereka ada DON dan NICK yang hobi mabuk dan rebut setiap hari, MARKUS dan MARIA si ROmmy and Juliet yang tiada hari tanpa pacaran, PAUL si jago molor atau mandoser yang gemar jalan-jalan dan nonton film porno, sampai DOMINGGUS yang ceroboh dan super pelupa. Semua berbaur dalam satu atap.

Sampai hari itu MANDOSER dating membawa 5 buah VCD porno terbaru bertema “SELERA NUSANTARA”. Masing-masing berjudul “SUMATRA BERGOYANG”, “PERAWAN DARI HUTAN KALIMANTAN”, “SULAWESI BERGELORA”, BALI BERGAIRAH LAGI” dan “HAMPIR MALAM DI JAWA”.

Ajaib, semuanya dari pemabok sampai kutu buku dan yang sedang tidur mendengkur seketika berkumpul dan berderet rapih di depan pesawat TV. Semua karena daya magnet “SELERA NUSANTARA” yang dahsyat.

Namun, apa yang terjadi setelah TV dinyalakan, sungguh diluar dugaan. Semua tiba-tiba hening, semua mata terpaku di layer kaca. Semua terkesia.

Apa yang terjadi di layar TV adalah liputan khusus tentang terjadinya Tsunami di Aceh. Begitu dahsyatnya gelombang air laut menghantam apa saja yang menghadang termasuk rumah, mobil dan pohon-pohon besar.

Ribuat mayat tampak bergelimpangan. Suara tangis pilu orang-orang yang kehilangan keluarga sungguh menyayat hati. Jerit rintih seorang Ibu dengan mayat bayi tercinta di pelukannya seperti membahana menghujam langit Indonesia.

Satu per satu sekumpulan mahasiswa Papua yang menyaksikan hari itu, tak kuasa menahan lelehan air mata mereka, meski tidak satu kekuatan pun yang memerintah atau melarang mereka untuk itu. Semua terjadi begitu saja atas nama kemanusiaan. Bukan yang lain.

Manusia tetaplah manusia. Siapapun dia, apapun bentuk dan tingkah lakunya, apapun warna kulitnya, hanya bisa dipersatukan dengan rasa.

Bahkan tidak butuh bendera, tidak perlu agama.

Dan… hari itu, anak-anak Papua menangis untuk Aceh…



Cerita Itu...

Dibalik Cerita
26 Desember 2005. Bangun tidur lalu nonton TV, kaget karena semua channel dipenuhi berita tentang terjadinya tsunami. ”Ada apa..? Tsunami..! Di mana..?” tapi pertanyaan-pertanyaan akibat melek belum sempurna itu gak berlangsung lama. Saya segera paham telah terjadi bencana dahsyat di Aceh, gempa dan tsunami. Tapi....?

Merinding saya menyaksikan video kiriman yang diputar di sana. Percaya atau tidak, air mata saya benar-benar meleleh tanpa sadar. Hampir seharian saya duduk di depan TV mengikuti setiap perkembangan dengan isi kepala berkecamuk. Aceh, saya punya banyak sekali sahabat di sana. Bersamaan dengan itu, dari TV yang sama, lamat-lama saya mendengar lagu ”Dari Sabang Sampai Merauke” diputar.

Tiba-tiba saya berpikir, entah gimana awalnya; ”Apakah saudara-saudara di Papua sana sekarang juga nonton TV dan menangis sedih seperti saya ya...?”

Nggak sabar menunggu jawaban, saya SMS beberapa sahabat saya yang juga banyak di Papua tentang pertanyaan ganjil saya itu. Semua menjawab ”Ya”. Mereka memang menangis untuk Aceh.

Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa menemukan sesuatu yang besar dari Tuhan. Bahwa seandainya setiap orang di dunia ini menanggalkan segala atribut pribadinya seperti bendera, ras, suku, agama, club sepakbola, dan sebagainya, maka sesungguhnya seluruh manusia sudah dipersatukan oleh rasa, tanpa perlu kampanye apalagi memaksa. Mungkin karena itulah kita dianjurkan untuk berbuat baik terhadap sesama.

Dari situ, jadilah ”DESEMBER’26” beberapa lembar screenplay yang kemudian kami produksi dengan perjuangan luar biasa untuk menjadikannya sebuah film. Harapan besar kami, semoga semua itu bermanfaat untuk dunia, untuk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke...


Cerita
Dibalik
Mustahil mengeksekusi ide awal yang ada set
ting Papua. Titik. Yup! Emang dananya dari Hongkong...(kok, kenapa nggak dari Jakarta aja ya? Hehe..). Maka mengulik cerita harus dilakukan. Jadilah Jogja dan dinamika para mahasiswanya menjadi setting utama, dengan focus point pada mahasiswa asal Papua di sana. Anak muda dengan berbagai ciri jiwa mudanya menjadi pilihan kami untuk merangakai plot cerita lebih dinamis namun tetap natural.

Siang-malam selama seminggu kami habiskan untuk persiapan, casting, reading dan rehearsal. Kami lebur bersama lebih dari 80 orang pemain dari berbagai suku, ras, agama dan profesi termasuk kelompok-kelompok dancer. Kekerjasama yang saaaangat indah, menurut saya.

Besok pagi shooting, schedule sudah tersusun rapi. Tiba-tiba ada beberapa teman dari Papua yang datang sekitar jam 4 sore. Mereka sedikit mengkomplain beberapa bagian dalam content naskah. Mereka sangat terbuka dan bijaksana, menurut saya. Kami pun berdiskusi berjam-jam. Cukup melelahkan tapi terasa asyik dan ilmiah. Finally, saya setuju untuk merubah beberapa point di dalam naskah itu sebelum shooting.

Lagi, malam itu saya berkutat dengan komputer, membolak-balik cerita dan dialog. Belum lagi Arief dan fajar (astrada) bersama Viko (produser) yang juga kembali pusing berkutat dengan schedule yang otomatis jadi berubah total.

Sampai pagi, dan kami shooting sebelum tidur....