Cerita Itu... - DESEMBER 26 FILM

September 06, 2007

Cerita Itu...

Dibalik Cerita
26 Desember 2005. Bangun tidur lalu nonton TV, kaget karena semua channel dipenuhi berita tentang terjadinya tsunami. ”Ada apa..? Tsunami..! Di mana..?” tapi pertanyaan-pertanyaan akibat melek belum sempurna itu gak berlangsung lama. Saya segera paham telah terjadi bencana dahsyat di Aceh, gempa dan tsunami. Tapi....?

Merinding saya menyaksikan video kiriman yang diputar di sana. Percaya atau tidak, air mata saya benar-benar meleleh tanpa sadar. Hampir seharian saya duduk di depan TV mengikuti setiap perkembangan dengan isi kepala berkecamuk. Aceh, saya punya banyak sekali sahabat di sana. Bersamaan dengan itu, dari TV yang sama, lamat-lama saya mendengar lagu ”Dari Sabang Sampai Merauke” diputar.

Tiba-tiba saya berpikir, entah gimana awalnya; ”Apakah saudara-saudara di Papua sana sekarang juga nonton TV dan menangis sedih seperti saya ya...?”

Nggak sabar menunggu jawaban, saya SMS beberapa sahabat saya yang juga banyak di Papua tentang pertanyaan ganjil saya itu. Semua menjawab ”Ya”. Mereka memang menangis untuk Aceh.

Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa menemukan sesuatu yang besar dari Tuhan. Bahwa seandainya setiap orang di dunia ini menanggalkan segala atribut pribadinya seperti bendera, ras, suku, agama, club sepakbola, dan sebagainya, maka sesungguhnya seluruh manusia sudah dipersatukan oleh rasa, tanpa perlu kampanye apalagi memaksa. Mungkin karena itulah kita dianjurkan untuk berbuat baik terhadap sesama.

Dari situ, jadilah ”DESEMBER’26” beberapa lembar screenplay yang kemudian kami produksi dengan perjuangan luar biasa untuk menjadikannya sebuah film. Harapan besar kami, semoga semua itu bermanfaat untuk dunia, untuk Indonesia, dari Sabang sampai Merauke...


Cerita
Dibalik
Mustahil mengeksekusi ide awal yang ada set
ting Papua. Titik. Yup! Emang dananya dari Hongkong...(kok, kenapa nggak dari Jakarta aja ya? Hehe..). Maka mengulik cerita harus dilakukan. Jadilah Jogja dan dinamika para mahasiswanya menjadi setting utama, dengan focus point pada mahasiswa asal Papua di sana. Anak muda dengan berbagai ciri jiwa mudanya menjadi pilihan kami untuk merangakai plot cerita lebih dinamis namun tetap natural.

Siang-malam selama seminggu kami habiskan untuk persiapan, casting, reading dan rehearsal. Kami lebur bersama lebih dari 80 orang pemain dari berbagai suku, ras, agama dan profesi termasuk kelompok-kelompok dancer. Kekerjasama yang saaaangat indah, menurut saya.

Besok pagi shooting, schedule sudah tersusun rapi. Tiba-tiba ada beberapa teman dari Papua yang datang sekitar jam 4 sore. Mereka sedikit mengkomplain beberapa bagian dalam content naskah. Mereka sangat terbuka dan bijaksana, menurut saya. Kami pun berdiskusi berjam-jam. Cukup melelahkan tapi terasa asyik dan ilmiah. Finally, saya setuju untuk merubah beberapa point di dalam naskah itu sebelum shooting.

Lagi, malam itu saya berkutat dengan komputer, membolak-balik cerita dan dialog. Belum lagi Arief dan fajar (astrada) bersama Viko (produser) yang juga kembali pusing berkutat dengan schedule yang otomatis jadi berubah total.

Sampai pagi, dan kami shooting sebelum tidur....